Freedom Writers merupakan film yang didasarkan atas kisah nyata kehidupan seorang guru di Long Beach, California, Erin Gruwell, pada tahun 1994 saat kekerasan antar geng dan ketegangan rasial memuncak tinggi. Terjadi lebih dari 120 pembunuhan di Long Beach di bulan-bulan setelah kerusuhan Roadney King. Di awal film, seorang kerabat Eva (murid Erin keturunan Latin) ditembak oleh seseorang dari ras lain, lalu ayahnya ditangkap oleh polisi kulit putih. Eva dinobatkan menjadi ketua geng generasi ke-3 dengan cara dipukuli agar ia menjadi kuat.
Erin berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di kelas 203, di mana terdapat beragam geng ras yang selalu mengelompok, seperti ras Kamboja, kulit hitam, Latin, dan kulit putih. Pada awal kedatangan Erin, para murid sama sekali tidak tertarik dengan kehadirannya. Mereka sangat sentimen terhadap orang berkulit putih. Mereka menganggap bahwa Erin tidak mengerti apapun tentang kehidupan mereka yang keras, kehidupan yang selalu berada di bawah bayang-bayang perang dan kekerasan. Bagi mereka, kehidupan adalah bagaimana caranya mereka selamat dari kekerasan, hingga penembakan yang mengatasnamakan “ras”.
Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Erin, baik dari pihak sekolah yang rasis, hingga pihak suami dan ayahnya. Diskriminasi yang dilakukan oleh pihak sekolah, seperti pemisahan kelas, serta perbedaan fasilitas yang kentara antara ras kulit putih di kelas terhormat dengan murid di kelasnya membuat Erin miris. Agar diterima oleh anak-anak didiknya, Erin mencari cara untuk melakukan pendekatan dan metode pengajaran yang tepat. Namun, sejak Erin disibukkan dengan pendekatan terhadap anak-anak didiknya dan bekerja paruh waktu, timbul masalah baru, ia diceraikan oleh suaminya. Hingga pada akhirnya, ayahnya yang semula tidak mendukung, berbalik mendukung pekerjaan Erin.
Erin paham dengan kondisi anak-anak didiknya yang selalu berkelompok dengan ras mereka masing-masing. Akhirnya, ia menemukan cara untuk menjangkau kehidupan mereka dengan memberikan mereka buku, dan meminta mereka mengisinya dengan jurnal harian. Bahkan, ketika sekolah mendiskriminasikan fasilitas buku, Erin memberikan buku baru tentang kehidupan geng yang lekat dengan keseharian mereka. Sejak membaca jurnal harian yang bercerita tentang kehidupan mereka yang keras, Erin semakin bersemangat untuk mengubah kehidupan anak-anak didiknya, serta menghapus batas tak terlihat yang secara kultur memisahkan mereka dengan cara-cara yang mengagumkan.Mereka juga diajak mengunjungi museum, menonton film-film dokumenter, serta makan malam di hotel tempat Erin bekerja paruh waktu sambil bertemu dan berbagi kisah bersama korban rasisme holocaust. Di museum itu pula mereka diperlihatkan foto-foto orang besar yang berasal dari ras mereka sendiri. Sepulang dari jalan-jalan itu, murid Erin yang sering membawa pistol akhirnya membuang pistolnya dan muridnya yang berbadan besar merindukan ibunya dan pulang ke rumah untuk meminta maaf pada ibunya. Hubungan murid-murid yang berbeda ras mulai dekat dan seorang murid kulit hitam dari kelas terhormat ingin bergabung dengan kelas 203 karena Erin adalah guru yang tidak membeda-bedakan, tidak seperti gurunya yang membedakannya dengan murid kulit putih.
Dalam film ini juga kita bisa melihat bagaimana usaha Erin mendatangkan Miep Gies, seorang wanita penolong Anne Frank, anak Yahudi yang hidup pada zaman Hitler dan holocaust-nya. Ia mendatangkan wanita tersebut untuk berbagi cerita kepada anak-anak didiknya tentang sebuah bencana yang terjadi karena rasisme. Erin memberi tugas kepada murid-muridnya untuk menulis surat kepada Miep Gies. Mereka mengadakan bazaar dan konser untuk mengumpulkan biaya dan Erin mengirimkan surat-surat itu ke Amsterdam, ke tempat Miep Gies. Miep Gies datang dan menceritakan kisahnya menolong Anne Frank. Cerita itu menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, terutama bagi Eva karena Miep Gies mengatakan bahwa “ia melakukan apa yang harus ia lakukan karena itu adalah hal benar untuk dilakukan”.
Eva memiliki kekasih yang benci dengan orang kulit hitam, namun tidak sengaja menembak seorang lelaki kamboja. Namun, ironisnya, lelaki kulit hitamlah yang justru dituduh pelaku penembakan. Sebagai seorang saksi, Eva bisa saja menyelematkan kekasihnya, namun ia telah mendapatkan pelajaran berharga tentang arti “kebenaran” dan “kejujuran” dari Miep Gies. Eva pada saat itu menghadapi sebuah benturan antara idealisme dan realita. Geng baginya adalah keluarga, dan takaran ideal di mata keluarganya adalah “menyelamatkan ras” mereka sendiri walau harus menafikan kebenaran. Namun, pada akhirnya, Eva bersaksi apa adanya, dan jika saja ayahnya itu bukan seseorang yang disegani di kelompok rasnya, maka ia akan menjadi korban penembakan selanjutnya.Bagi Eva, mengatakan kebenaran yang mengandung tanggung jawab moral jauh lebih berharga dibandingkan bersaksi palsu demi kepentingan kelompok.
Kesabaran dan keteguhan Erin dalam mendidik mereka berbuah hasil. Anak-anak tersebut, yang semula benci satu sama lain karena perbedaan ras, akhirnya menjadi berteman dan mendobrak sekat-sekat ras di antara mereka. Jurnal-jurnal yang ditulis oleh anak-anak didiknya akhirnya disatukan menjadi sebuah buku berjudul “The Freedom Writers Diary” dan diterbitkan pada tahun 1999. Murid-murid ingin Erin tetap mengajar mereka setelah mereka naik ke kelas Junior, tapi tidak diizinkan oleh pihak sekalah. Namun karena buku itu, ia akhirnya diizinkan untuk mengajar murid-muridnya lagi di kelas junior dan senior. Dalam kisah nyatanya, banyak dari Freedom Writers itu adalah yang pertama di keluarganya yang lulus SMU dan masuk perguruan tinggi. Mengikuti beberapa muridnya, Erin meninggalkan SMU itu dan menjadi dosen di berkat dedikasinya yang tinggi sebagai seorang pendidik.
Dari film ini, kita bisa mendapatkan banyak nilai-nilai di dalamnya. Kita dapat belajar dari keteguhan dan kesabaran Erin dalam mengajar murid-murid yang bermasalah. Film ini juga mengajarkan arti kejujuran, walaupun orang yang melakukan kesalahan adalah keluarga kita sendiri, tetapi kita harus tetap membela kebenaran. Dalam berteman dan persahabatan kita tidak boleh memandang ras, karena perbedaan itu indah bila dipersatukan. Kata-kata yang dikatakan oleh Miep Gies juga menginspirasi, yaitu “aku melakukan apa yang harus kulakukan karena itu adalah hal benar untuk dilakukan”.
Ada beberapa kreativitas yang muncul dari dalam film ini, terutama dari cara Erin mengajar. Yang pertama, ia menyalakan musik di kelas agar murid-muridnya mau belajar membaca puisi dengan gaya rap. Kemudian ia meminta semua muridnya berganti posisi duduk agar mereka bisa menyatu dan tidak saling membedakan. Ketika salah seorang muridnya menggambar wajah orang hitam berbibir tebal, Erin menggunakan gambar itu untuk menjelaskan holocaust. Erin mengadakan permainan garis untuk mengingatkan murid-murid tentang teman mereka yang mati karena kekerasan geng. Langkah terakhir adalah dengan membelikan mereka buku-buku baru untuk mereka baca dan mengajak mereka jalan-jalan ke museum dan bertemu korban holocaust. Ia memberikan buku jurnal kepada mereka agar mereka bisa menceritakan pengalaman hidup mereka.
Kreativitas Erin muncul karena ia ingin menarik perhatian murid-muridnya agar mau memperhatikan materi yang diajarkannya dan ia ingin murid-muridnya tidak berkelompok-kelompok dengan ras mereka masing-masing, melainkan menyatu dan bersahabat satu sama lain. Buku jurnal yang diberikan Erin adalah untuk menjangkau kehidupan murid-muridnya. Dari sana ia bisa memahami kehidupan keras murid-muridnya.
No comments:
Post a Comment