Friday, February 25, 2011

KAMU NGGAK SENDIRIAN

Adira merasa ibunya sangat aneh hari ini. Ia mengajak Adira jalan-jalan, makan di restoran mahal, dan membelikan banyak baju. Awalnya Adira mengira ibunya baru saja mendapatkan lotre atau arisan, sehingga Adira tidak terlalu memikirkannya. Namun keesokan harinya, gadis yang baru menginjak SMP itu akhirnya mengerti, mengapa kemarin ibunya melakukan semua itu…
***
            Seorang gadis SMA berambut ikal sedang berdiri didepan sekolah menunggu jemputannya. Wajahnya pasti akan tampak lebih manis jika ia tidak sedang manyun sekarang. Beberapa kali ia melihat jam sambil berdecak kesal. Jari-jarinya yang ramping mengipas-ngipas wajahnya karena kegerahan di bawah terik matahari yang menyengat.
“Adira!” Gadis itu menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Tampak seorang gadis cantik yang memakai seragam sekolah yang sama berlari mendekatinya.
“Dir, lo lagi nunggu jemputan ya?” tanya gadis cantik tadi.
“Iya, nih, kayaknya supir gue telat nih jemputnya. Sebel, deh!” Adira mengomel.
“Gimana kalau lo ikut gue aja?”
Belum sempat menjawab, tangan Adira sudah ditarik oleh gadis cantik berwajah oriental itu dan masuk ke dalam mobil Honda CRV berwarna hitam yang sudah dinyalakan mesinnya oleh seorang cowok blasteran yang tampan.
“Dir, lo nggak lagi buru-buru kan?”
“Nggak, emang kenapa?”
“Lo kan baru pindah ke Jakarta, jadi gue dan pacar gue mau ngajak lo jalan-jalan bentar, gimana?”
“Ehm… boleh, deh.”
Ok, Let’s go!”
Sudah seminggu ini Adira sekolah di SMA Jakarta. Ia pindahan dari Bandung. Cewek yang mengajaknya jalan-jalan itu bernama Angelia, anak pemilik SMA Jakarta. Ia cantik, pintar, popoler, dan pastinya kaya raya. Sementara cowok yang sedang menyetir mobil adalah Anthony, pacar Angelia yang juga kaya dan populer di sekolah. Hm… pasangan yang serasi.
Sesampainya di sebuah café yang terlihat berkelas, ternyata ada beberapa teman-teman sekelas Adira sudah menunggu di dalam café itu. Ada, Stephany, Sophie, Dennis, serta si kembar Danille dan Daniel. Setelah memesan minum, mereka mengobrol dan kebanyakan bahan pembicaraan mereka mengarah ke Adira.
“Dir, kalo boleh tahu, bokap lo kerja apa?” tanya Danille sambil memainkan sedotan.
“Ngapain lo nanya-nanya kerjaan bokapnya? Kayak calon mertua nanya ke calon mantu aja lo,” ejek Sophie.
“Gue kan cuma pengen tau aja, emang nggak boleh?”
“Ayah, eh, papaku itu direktur sebuah bank. Sekarang dipindahtugaskan di sini. Makanya gue juga ikutan pindah ke sini,” jelas Adira.
“Oh… gitu, kalo nyokap?” tanya Daniel.
“Nyokap gue…” Mata Adira sedikit menerawang dan wajahnya berubah murung.
“Nyokap lo kenapa, Dir?” tanya Stephany.
“Nggak apa-apa, nyokap gue punya bisnis butik online gitu.”
“Rumah lo di mana, Dir?” tanya Dennis.
“Kenapa? Mau ngapelin ya?” goda Anthony.
“Ehm… rumah gue… rumah gue di… di daerah Pondok Indah,” kata Adira sedikit terbata-bata.
“Wow, itu kan perumahan orang kaya,” celetuk Sophie.
“Gimana kalau pulang dari sini kita main ke rumah lo? Boleh nggak?” tanya Danille.
“Nggak boleh.”
“Loh, emangnya kenapa?” tanya Stephany.
Adira buru-buru meralat kata-katanya, “Eh, maksud gue nggak bisa sekarang karena hari ini nyokap ada arisan.”
“Eh, udahan, ah, interogasinya. Ayo kita ke mall aja, di sana ada baju-baju baru dari luar negeri, loh,” ajak Angelia.
“Ah, yang bener, An? Ayo buruan ke sana, ntar keburu abis lagi.” Stephany menenteng tas dan beranjak pergi diikuti oleh cewek-cewek yang lain.
“Huh, dasar cewek. Dari pada ngikutin mereka belanja gila-gilaan, mending kita jalan sendiri aja, yuk,” ajak Anthony.
“Ayo. Hoi, nanti kalo udah puas belanja, sms aja, nanti kami jemput,” seru Dennis pada teman-teman ceweknya yang entah didengar atau tidak karena mereka sudah menjauh.
Tak terasa hari sudah mulai malam. Setelah puas berbelanja, Adira dan kawan-kawan perempuannya menunggu para cowok di depan mall. Mereka nongkrong sebentar kemudian berpisah untuk pulang masing-masing ke rumah. Angelia dan Anthony mengantar Adira pulang.
 “Dir, ini sudah di Pondok Indah, loh. Rumah lo yang mana?” tanya Anthony.
Adira yang baru sadar kalau mereka sudah sampai di daerah Pondok Indah, tampak terkejut dan bingung. Dilihatnya sebuah rumah mewah yang tampak sepi.
“Ehm, rumah gue yang itu, yang pagernya putih.”
Mobil Anthony berhenti di depan rumah itu dan Adira segera turun.
“Makasih, ya.”
“Sama-sama. Kami tinggal, ya. Da…” Angelia melambaikan tangan.
Setelah mobil Honda CRV itu berlalu, Adira tidak masuk ke rumah putih itu, melainkan berjalan ke sebuah gang kecil dan masuk ke sebuah rumah kecil berwarna hijau. Di ruang tamu, duduk seorang bapak-bapak yang sedang merokok.
“Adira, kamu dari mana saja? Kenapa malam begini baru pulang?” tanya bapak itu.
“Jalan sama temen,” kata Adira cuek sambil melepas sepatu ketsnya.
“Kenapa nggak bilang dulu sama Ayah? Tadi Ayah nungguin kamu di sekolah, ternyata kamu sudah tidak ada. Ayah khawatir karena kata orang di Jakarta rawan kejahatan. Ayah takut kamu kenapa-napa, Nak.”
“Siapa suruh telat jemput.” Adira masuk ke kamar dan membanting pintu.
Tingkahnya ini membuat Ayah Adira mengurut dada. Ayahnya merasa bersalah. Andai ia orang kaya, pasti istrinya tidak akan meninggalkannya dan putri semata wayangnya itu. Lima tahun yang lalu, Ayah dan Ibu Adira bercerai karena Ibu Adira tidak tahan hidup miskin bersama suaminya yang hanya bekerja sebagai pemulung di Bandung. Kemudian ia memilih untuk menikah dengan seorang duda tua bangka yang kaya raya. Sejak saat itu Adira menjadi anak yang pemurung dan berkepribadian keras.
Kini Ayah Adira mendapatkan pekerjaan di Jakarta sebagai seorang supir di sebuah keluarga kaya. Berkat kebaikan majikannya, Adira bisa sekolah di SMA yang elit dan mahal. Semuanya dibiayai oleh majikannya yang baik hati.
Jadi, Adira yang sesungguhnya bukanlah orang kaya seperti yang dikira Angelia dan teman-teman lainnya. Tidak ada yang tahu kalau ia hanya mengaku-ngaku sebagai anak orang kaya, karena setiap hari ia ke sekolah dengan penampilan yang meyakinkan dan selalu diantar jemput dengan mobil BMW yang sebenarnya adalah milik majikan ayahnya. Kebaikan majikan ayahnya telah disalahgunakan oleh Adira. Ia menjadi sombong, sok kaya, dan bergaya hidup mewah.
***
Pepatah berkata, Sepintar-pintarnya orang menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga baunya. Rahasia Adira mengenai jati diri aslinya yang telah sebulan disembunyikannya, akhirnya terbongkar juga. Semua itu berawal dari kedatangan beberapa siswa SMA dari Bandung ke SMA Jakarta untuk melakukan studi banding pada hari ini.
Setelah bunyi bel istirahat pertama, seperti biasanya, Adira, Angelia, Danille dan Stephany serta teman-teman lainnya menyerbu kantin sekolah. Saat itu, siswa SMA dari Bandung kebetulan juga sedang makan di kantin.
“Adira!” panggil seorang cewek dari SMA Bandung sambil melambai-lambaikan tangan dengan semangat.
Wajah Adira mendadak pucat ketika dipanggil oleh gadis itu. Ia kenal cewek itu. Namanya Marini, teman SMA Adira waktu di Bandung. Selain Marini, ada juga beberapa teman lamanya, yaitu Dadang, Maman, dan Cici. Adira pura-pura tidak mendengar, namun Marini dan teman-teman lamanya datang menghampirinya. Adira jadi gelagapan.
“Hai, Dir, ternyata kamu sekolah di sini, ya,” sapa Marini.
“Kalian saling kenal?” tanya Stephany, teman Angelia.
“Iya…” Belum selesai Marini bicara, Adira langsung memotongnya, “Nggak, gue nggak kenal mereka.”
“Loh, Dir, maksud kamu apa? Masa kamu lupa sama kami, teman lamamu di Bandung dulu?” tanya Dadang sedikit emosi karena Adira sok nggak kenal.
“Aduh, ini udah biasa, ada orang yang sok kenal. Maklumlah, gue di Bandung emang cukup terkenal,” kata Adira sambil mengibas rambut ikalnya.
Tiba-tiba Cici menyiram Adira dengan es teh yang ada di meja kantin dan membuat Adira basah kuyup. Adira menjerit sambil mengibas-ibaskan kemejanya yang basah.
“Ternyata benar yang dikatakan orang-orang, kalau kamu itu sekarang sombong dan sok kaya. Padahal kamu itu cuma anak orang miskin!” bentak Cici sambil mendorong tubuh Adira kemudian menjambak rambut Adira.
“Eh, tunggu, jangan berantem. Ini ada apa sebenarnya? Kalian siapa?” Angelia melerai mereka.
“Kami ini teman-teman lamanya Adira waktu dia masih sekolah di Bandung. Kami tahu semuanya tentang dia. Asal kalian tahu aja, ya, Adira ini sebenarnya bukan orang kaya seperti yang kalian pikirkan. Di Bandung dulu ayahnya cuma seorang pemulung dan orang tuanya sudah cerai karena ibunya kawin dengan duda kaya,” Maman menjelaskan.
“Loh, bukannya kata Adira, papanya itu direktur bank dan mamanya punya butik online? Dia ke sekolah juga selalu pakai mobil mewah. Kalo orang miskin, nggak mungkin punya mobil mewah, kan?” tanya Stephany.
“Paling itu mobil majikannya. Aku dengar ayahnya sekarang bekerja sebagai supir. Majikannya yang menyekolahkan dia di SMA elit seperti ini. Dasar orang yang tidak tahu berterima kasih. Kamu itu sudah bagus bisa disekolahkan di sini, jangan kebanyakan gaya. Orang miskin ngaku-ngaku orang kaya,” omel Marini.
“Ya, ampun. Apa benar semua ini, Dir?” tanya Danille dengan wajah tak percaya.
Adira yang merasa dipermalukan hanya bisa menangis dan berlari keluar dari kantin, keluar dari gedung sekolah. Ia terus berlari tanpa mempedulikan Angelia yang memanggil dan mengejarnya.
***
Adira berdiri di tengah taman dengan hamparan rumput dan bunga yang berwarna-warni. Ia melihat kerumunan orang yang sedang bercanda tawa di bawah sebuah pohon besar. Mereka adalah Angelia dan teman-teman lainnya. Adira berlari mendekati mereka.
“Halo semuanya…” sapa Adira.
 Teman-temannya hanya menatapnya sambil mengerutkan kening.
“Lo kenal?” tanya Stephany pada Angelia.
“Nggak kenal, tuh,” kata Angelia.
“Loh, kalian kenapa, sih? Ah, kalian lagi bercanda, kan? Kita kan teman.”
“Eh, sorry, ya, kami nggak punya teman yang miskin dan tukang bohong kayak lo! Ngakunya orang kaya, padahal cuma anak pemulung,” bentak Danille.
Adira hanya bisa terpaku. Perlahan-lahan bayangan teman-teman barunya itu memudar dan digantikan oleh wajah-wajah teman lamanya yang berteriak memakinya. Adira tak tahan dan menutup telinga dengan kedua tangannya. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokannya. Ia ingin menangis, tetapi air matanya tak bisa keluar.
Tiba-tiba semuanya hilang dan ia kini berdiri di tengah padang pasir yang terik. Ia melihat seorang wanita berdiri di ujung gurun. Adira berlari dan terus berlari. Semakin dekat, semakin ia mengenal wajah wanita itu.
“Ibu...” gumam Adira.
Ya, wanita itu adalah ibu Adira yang sedang merentangkan tangan. Adira berlari ingin memeluk ibunya, namun tubuh ibu semakin menjauh dan akhirnya hilang tak terjangkau.
“Ibuuu…” teriak Adira.
“Adira, tenang, Sayang.” Ayah Adira menenangkannya sambil memeluk dan mengusap-usap punggungnya.
Adira baru sadar bahwa ia baru saja terbangun dari mimpi buruknya. Mimpi yang sangat buruk. Semua orang meninggalkannya. Teman-temannya, bahkan ibunya. Ia merasa sendirian.
***
Di sebuah rumah yang mewah, tepatnya di dalam kamar yang bernuansa pink dan wangi,  beberapa cewek yang sedang berdiskusi.
“Teman-teman, nggak seharusnya kita membenci Adira. Dia melakukan hal itu pasti ada alasannya,” kata Angelia.
“Nggak bisa, An, gue ini paling benci sama orang yang ngesok. Sok pinter, sok kaya…” omel Danille sambil memukul-mukul bantal, membayangkan kalau bantal itu adalah wajah Adira.
“Tapi Angelia benar juga, Dan. Setiap orang pasti pernah berbuat salah. Kasihan dia, kemarin pasti dia malu banget, makanya hari ini dia nggak masuk sekolah,” kata Stephany.
“Yah, semoga saja kejadian kemarin membuat dia kapok dan nggak mengulangi perbuatannya lagi. Gimana kalau sekarang kita jengukin dia?” usul Sophie.
“Hm… ide bagus. Kita bujuk dia supaya mau sekolah lagi,” kata Stephany.
“Tapi kita, kan, nggak tahu rumahnya. Rumah yang dia tunjukkin sama aku dulu ternyata rumah orang,” kata Angelia.
“Kita ke bagian kesiswaan aja, pasti ada data tentang Adira, kan?” Danille mengusulkan.
“Wah, bener juga lo. Kadang-kadang lo pinter juga, ya,” goda Sophie.
“Baru tahu, ya? Haha…” Danille ge-er.
Keesokan harinya, setelah mendapatkan alamat asli Adira, sepulang sekolah mereka bertamu di rumah Adira. Mereka disambut hangat oleh ayah Adira, namun Adira tidak mau keluar dari kamar walaupun sudah dibujuk oleh ayahnya.
“Maaf, ya, dari kemarin Adira nggak mau keluar kamar, nggak mau sekolah, nggak mau makan,” kata ayah Adira dengan wajah yang sedih.
“Om, boleh nggak kami masuk ke kamar Adira? Sapa tahu kami bisa membujuk dia,” pinta Angelia meminta izin.
“Oh, boleh. Silahkan.” Ayah Adira mempersilahkan mereka masuk ke kamar Adira.
Kamar itu kecil, lebih kecil dari kamar mandi Angelia. Di dalamnya hanya ada lemari kecil dan kasur kapuk yang tergeletak di lantai tanpa ranjang. Adira sedang meringkuk di kasur itu.
“Dir…” panggil Angelia sambil menepuk bahu gadis itu.
“Mau apa kalian ke sini? Mau ngetawain aku, ya? Nggak apa-apa, ketawa aja. Rumahku kecil, jelek, seperti kandang ayam. Atau mau mengasihani aku?”
“Nggak, Dir, kami ke sini mau ngajakin kamu untuk ngajak kamu ke sekolah lagi,” kata Stephany.
“Percuma kalian bujuk, aku nggak akan pergi lagi ke sekolah. Aku malu.”
“Kamu nggak perlu malu, Dir. Aku sudah menjelaskan kepada teman-teman yang lain kalau kamu pasti punya alasan kenapa berbuat seperti itu. Kami semua memaafkan kamu dan tetap mau menjadi temanmu,” jelas Angelia.
Adira menoleh. Wajahnya tampak kusut dan matanya bengkak.
“Kalian nggak marah? Nggak benci sama aku?”
Angelia dan lainnya menggeleng. Bibir Adira menyunggingkan senyuman.
“Teman-teman, maafin aku, ya. Aku cuma nggak mau sendirian. Selama ini aku merasa takut dikucilkan karena aku miskin, apalagi aku sekolah di sekolahnya orang-orang kaya. Ibuku saja meninggalkan aku karena tidak suka hidup miskin. Aku merasa sendiri…”
Angelia memeluk Adira, “Dir, kamu nggak boleh merasa begitu. Mulai sekarang kamu nggak akan merasa sendirian lagi, karena ada aku, Stephany, Sophie, Danille, dan teman-teman lainnya, akan selalu ada untuk kamu. Dan ada satu lagi, Dir, Ayah kamu. Beliau nggak pernah ninggalin kamu, kan, selama ini.”
Adira melihat ayahnya yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Adira melompat dari tempat tidur dan memeluk ayahnya sambil terisak. “Ayah, maafkan Adira. Selama ini Adira membuat Ayah sedih dan kecewa. Adira janji nggak jahat lagi sama Ayah. Aku sayang Ayah.”
“Iya, sayang, Ayah sudah memaafkanmu sejak dulu.” Ayah mengusap punggung Adira.
Adira melepas pelukannya dari tubuh Ayahnya kemudian memeluk teman-temannya, “Makasih, ya… aku senang banget punya teman kayak kalian.”
“Kalo gitu lo besok ke sekolah lagi, kan?” tanya Danille.
Adira mengangguk. Ia bahagia sekarang karena ia tidak lagi merasa sendirian. Ada teman-teman yang mau menerima dia apa adanya. Dan juga ada Ayah yang tidak akan pernah meninggalkannya selamanya.
THE END

No comments:

Post a Comment