Friday, February 25, 2011

MERAH DI TENGAH PUTIH

BRUKK…
Aku menghempaskan tubuhku di atas spring-bedku yang empuk. Ah… nyaman sekali. Ingin rasanya aku langsung tidur saja, tanpa berganti pakaian.
Aku baru saja pulang dari acara reunian SMA. Aku bertemu kawan-kawan lama dan saling bercerita. Nostalgia, gitu! Baru lima tahun kami tidak bertemu, ternyata sudah banyak yang berubah. Yang dulunya gemuk, jadi kurus, sedangkan yang kurus, jadi gemuk. Wajah kami juga tampak semakin tua. Aku ingin tertawa jika mengingatnya. Ada juga yang sudah menikah, bahkan sudah punya anak. Tapi aku sendiri tak banyak berubah. Sampai saat ini aku masih sendiri. Aku menghabiskan waktu dengan bekerja dan bekerja. Orang tuaku terus memaksaku untuk menikah karena usiaku sudah cukup matang untuk mengarungi bahtera rumah tangga, tetapi aku merasa hatiku telah beku, tidak bisa menerima kehangatan cinta dari pria manapun. Bukan berarti aku tidak tertarik pada pria. Aku pernah jatuh cinta, dan sampai sekarang aku masih mencintainya.
Rasa kantukku tiba-tiba hilang karena aku teringat akan wajah seseorang yang pernah mengisi ruang hatiku dan sampai kini belum tergantikan. Aku bangun, menuju meja kerjaku dan duduk di kursinya. Tanganku meraih sekuntum bunga mawar berwarna merah yang terselip di tengah-tengah kumpulan mawar putih yang telah kurangkai dan kutata rapi dalam vas bunga yang terletak di sudut meja kerjaku.
Aku tenggelam dalam masa laluku, sepuluh tahun silam…
***
Udara pagi di kota Malang sangat segar dan adem. Embun masih menetes dari daun hijau. Namun kesejukan itu tidak bisa kunikmati, karena aku sedang ngos-ngosan berlari menuju sekolah. Hari ini masih dalam masa-masa orientasi siswa baru di SMA, dan aku terlambat bangun. Alarm yang kupasang tidak mau membangunkanku.
“Mawar, sarapan dulu!” panggil Mamaku dari arah dapur sebelum aku berangkat.
“Nggak sempat, Ma, aku sudah terlambat. Aku berangkat dulu ya!” seruku sambil mengenakan sepatu dengan asal-asalan.
“Mawar, tunggu!” panggil Mamaku lagi.
“Aduh, apa lagi, Ma?” tanyaku dengan gemas.
“Bunga mawarnya kok nggak dibawa? Katanya hari ini harus bawa bunga.” Mama menenteng sebuah pot berisi mawar putih.
Aku menepuk jidatku. ”Oh, iya. Makasih, Ma. Aku berangkat dulu, ya.”
“Hati-hati!” seru Mama ketika aku sudah berlari melewati pagar rumah.
Hari ini aku dan siswa baru lainnya memang disuruh oleh kakak-kakak kelas untuk membawa bunga apa saja untuk ditanam di sekolah. Aku membawa bunga mawar putih kesukaanku. namun ketika aku hendak menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah sepeda motor menyerempetku hingga aku terjatuh. Pengendara sepeda motor itu tidak menolongku dan meminta maaf, malah kabur.
“Hei, sialan lo!” makiku.
Lututku terluka dan pot bungaku pecah. Mawar kesayanganku itu terinjak oleh ban sepeda motor sialan tadi. Tak terasa air mataku meluncur. Perasaanku bercampur aduk antara kesal, jengkel, kesakitan karena terluka, sedih karena bungaku terinjak, dan takut dimarahi oleh kakak kelas.
Sementara aku menangis, sebuah tangan terjulur padaku. Aku mendongakkan kepala dan melihat seorang cowok berseragam SMA dengan tampang imut dan rambut klimis tersenyum padaku.
“Ayo berdiri. Masa kamu mau duduk di aspal selamanya?” kata cowok itu.
Aku meraih tangannya dan berdiri sambil mengibas-ibaskan rokku. Cowok itu mengusap air mataku dengan saputangannya. Ia memapahku untuk duduk di sebuah halte dan mengeluarkan kotak P3K. Ia membersihkan lukaku dan menutupnya dengan plester.
“Sudah merasa lebih baik?”
“Terima kasih.”
“Tapi wajahmu masih terlihat sedih, kenapa?”
“Bungaku rusak, padahal aku lagi orientasi dan harus membawa bunga.”
“Oh, kamu anak SMA Kusuma Bangsa, ya? Aku juga murid baru di sana. Kamu ambil aja bungaku, nih.” Cowok itu menyodorkan sebuah pot bunga yang berisi sekuntum bunga mawar putih.
“Nggak, ah, kamu kan juga butuh. Nanti kamu dimarahi kalau tidak membawa.”
“Nggak apa-apa. Kamu kan lagi kena musibah, kalau masih harus dimarahi lagi, aku merasa kasihan. Aku ikhlas membantu kamu kok. Ayo kita berangkat ke sekolah, udah telat, nih.”
Cowok itu memberikan bunganya dan menggandeng tanganku menuju sekolah. Setelah sampai di sekolah, seperti dugaanku, ia dimarahi oleh kakak kelas karena tidak membawa bunga. Aku merasa sangat bersalah. Ketika pulang sekolah, aku mencarinya dan mendapatinya sedang nongkrong di kantin.
“Hei, maafkan aku, ya. Kamu jadi dimarahi gara-gara aku.”
“Nggak usah merasa bersalah gitu, aku nggak apa-apa, kok. Omelannya kakak-kakak itu nggak usah diambil pusing. Mereka itu cuma akting, biar kita takut sama mereka. Oh, ya, dari tadi kita belum kenalan, ya. Namaku Nathan. Joenathan.” Cowok itu menyodorkan tangannya.
“Namaku Mawar.” Aku menyambut tangan Nathan.
Nathan mengulum senyumnya. “Nama kamu unik. Pasti mama kamu suka bunga mawar.”
“Iya, aku juga suka bunga mawar, apalagi mawar putih.”
“Gimana kalau aku memberimu sekuntum mawar putih tiap hari?”
“Maksudnya?”
Nathan tidak menjawab. Ia hanya mengulum senyum, senyum yang manis.
***
“Selamat pagi, Mawarku tersayang…” sapa Nathan dari balik jendela kelas.
“Nathan?! Ngapain kamu nongol di situ? Kenapa nggak masuk aja ke kelasku seperti biasa?” tanyaku sambil terus menyalin pe-er matematika dari buku Renatha.
“Khusus hari ini kukirimkan sekuntum mawar putih kesukaanmu dari jendela kaca.” Ia menyodorkan sekuntum mawar putih kepadaku.
“Kok sekarang lewat jendela?” Aku mengambil mawar itu dari tangan Nathan dan memasukkannya ke laci meja.
“Biar kayak Romeo en Juliet, gitu!”
“Kamu ini ada-ada aja, deh.”
Kami tertawa renyah. Bel masuk pun berbunyi.
“Karena bel telah berbunyi, inilah waktunya untuk berpisah. Namun tak akan lama, karena setelah bel istirahat berbunyi, aku akan segera berlari meninggalkan kelasku untuk menjumpai mawarku. Da…”
Renatha yang duduk di sebelahku dari tadi cekikikan melihat adegan “Romeo en Juliet” yang terlalu maksa itu.
“War, cowok lo aneh banget, deh! Norak abis, sok puitis, sok romantis, padahal tampangnya nggak jauh beda ama teletubies,” ledeknya.
“Ala… kalo iri bilang aja, jangan menghina gitu, dong! Lo pasti pengen juga kan punya pacar yang romantis kayak pacar gue? Makanya cari pacar dong, jangan jomblo melulu, entar jadi perawan tua, loh.”
“Gue? Pengen punya pacar kayak Nathan? Idih… sori ye, kagak level. Eh, gue penasaran, kok dia bisa kasih lo bunga terus tiap hari? Bunga dari mana tuh? Jangan-jangan dia nyuri bunga tetangga.”
“Sembarangan! Bunga itu dia tanam sendiri di belakang rumahnya. Karena dia tau gue suka mawar putih, dia petikin buat gue tiap hari.”
“Apa nggak rugi tuh? Kan sayang banget, udah capek-capek di tanam, dikasih ke elo. Kalo gue jadi dia, mending tuh bunga gue jual.”
Aku hanya bisa mengangkat bahu. Percakapan kami terhenti karena guru matematika kami sudah nongol di depan kelas.
Nathan adalah pacar dan cinta pertamaku. Ia memang nggak terlalu cakep, nggak tenar dan nggak pintar. Dia juga rada norak dan agak bolot dikit. Tapi menurutku, Nathan adalah cowok terbaik dari segala kaum adam yang kukenal. Senyum yang ramah, mata yang selalu memancarkan kasih dan kata-kata yang diucapkannya selalu sopan. Ia juga romantis dan puitis, tapi nggak mirip teletubies seperti yang dikatakan Renatha tadi. Sembarangan aja dia itu!
Sejak pertemuan kami waktu orientasi siswa itu, kami bersahabat baik. Lama kelamaan, tumbuh bunga cinta di antara kami. Tiga bulan yang lalu, ia menembakku di bawah sinar rembulan purnama dan memberiku sekuntum mawar putih yang sangat indah. Dari awal jadian sampai sekarang, setiap hari Nathan mengirimi aku bunga mawar putih. Aku enggak tahu apa maksudnya yang sebenarnya dengan memberiku bunga itu. Saat ini sudah terkumpul sembilan puluh sembilan kuntum mawar putih. Bunga-bunga itu kumasukkan ke dalam vas bening yang berisi air agar tetap segar seperti cinta kami yang akan selalu segar dan abadi selamanya. Amin…
***
“Than, kok kamu tiap hari ngirimi aku mawar putih?” tanyaku ketika kami sedang asyik makan di kantin sekolah.
“Nggak ada maksud apa-apa, kok. Aku cuma pengen ngasih aja. Kamu nggak suka?” Ia menyeruput es jeruk favoritnya.
“Bukannya nggak suka. Aku suka kok, tapi kamu kan udah capek-capek tanam, masa dipetik gitu aja?”
“Nggak apa-apa, lagi. Asal kamu senang. Hehe…”
“Ehm… ngomong-ngomong, sudah berapa tangkai yang kuberikan?” tanyanya lagi.
“Sembilan puluh sembilan.”
Ia mengangguk-angguk, lalu menggenggam jemariku, “Aku janji, aku akan memberimu mawar putih yang ke seratus, mawar yang paling indah. Mawar special di hari yang special. Kamu tunggu aja entar malam.”
“Entar malam? Maksudnya?”
“Ah… pokoknya liat aja nanti. Surprise…”
“Apa sih? Kasih tahu, dong… penasaran, nih.”
“Kalo di kasih tahu sekarang bukan surprise namanya. Kamu tunggu aja, ya.” Matanya menerawang, “Mungkin itu mawar terakhir yang akan kuberikan.”
“Kamu bilang apa?” Aku kurang mendengar kalimat terakhirnya, karena ia berbicara seperti sedang berbisik.
“Ah, nggak. Aku nggak bilang apa-apa kok. Eh, udah masuk deh kayaknya. Balik ke kelas, yuk.”
Kami berjalan beriringan menuju kelasku. Ia terus menggenggam tanganku, seperti tak rela melepaskan. Entah mengapa, aku merasa ia akan pergi jauh. Tapi buru-buru aku menepis segala pikiran jelek itu. Mungkin ini hanya perasaanku saja.
***
Angin malam ini bertiup sangat kencang sekali. Langit gelap tak berhias bintang. Hanya cahaya temaram bulan sabit yang menerangi kegelapan malam.
Saat aku masih terbuai dalam mimpi, aku terjaga karena mendengar suara ketukan di jendela kamarku. Aku membuka jendela itu. Angin malam menerpa wajahku dan menusuk sampai ke tulang. Seseorang berdiri di luar sana. Ia mendekat ke arahku.
“Mawar,” ucapnya datar.
“Nathan?” Aku mengenal suara itu, “Ngapain kamu berdiri di luar? Ayo masuk. Cuaca di luar sepertinya buruk.”
Ia tak menggubris ucapanku. Ia menyodorkan bunga mawar kepadaku. Aku mengambil bunga itu dari tangannya. Tetapi bukan mawar putih yang ia berikan, melainkan mawar merah.
“Maaf, aku tak bisa memberikan mawar putih yang ke seratus itu. Mawar putih terindah itu kini sudah menjadi merah.”
“Maksudnya?” Aku tak mengerti apa yang diucapkannya.
“Selamat ulang tahun.” Ia menyunggingkan senyum.
Senyum itu lain dari biasanya. Bukan senyum teduh seperti yang biasa ia lemparkan padaku. Sekilas aku melihat wajahnya tampak pucat. Aku melihat ke arah jam dinding. Pukul 12 malam tepat. Besok memang hari ulang tahunku. Mungkinkah mawar ini hadiah ulang tahun darinya? Apa ini yang dimaksudnya sebagai surprise?
“Than, masuk, yuk. Kamu kayaknya kedinginan, deh. Wajahmu pucat. Kamu sakit?”
Ia tak menjawab dan tak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya tersenyum. Nathan yang kulihat malam ini tampak aneh. Tiba-tiba aku merasa bulu kudukku berdiri. Perasaanku tak enak.
Tok…tok…tok…
Pintu kamarku di ketuk. Setelah kubuka pintu kamarku, ternyata Mama. Mama juga tampak pucat.
“Ada apa, Ma? Kok pucat gitu?”
“Tadi ada telepon dari ayahnya Nathan. Katanya, Nathan berniat ke sini untuk memberimu kejutan. Tapi di perjalanan, motor yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan sekarang… Nathan sudah meninggal.”
“APA?! Nggak mungkin, Ma. Nathan ada di sini. Dia ada di luar. Tadi kami baru aja ngobrol di…”
Waktu aku melihat ke arah jendela, Nathan sudah tidak ada. Aku berlari ke jendela dan menengok ke luar, tak ada siapa-siapa di luar sana. Aku berlari ke luar rumah dan memanggil namanya berkali-kali, tapi ia tak muncul juga. Perasaanku benar-benar tak enak.
***
Aku berdiri mematung di depan kamar di sebuah rumah sakit. Mawar merah itu masih kugenggam erat. Perlahan kubuka pintu kamar itu dan masuk. Terbaring seseorang dengan selimut putih yang menutupi wajahnya. Kubuka perlahan selimut itu dengan tangan gemetar. Ternyata benar, yang terbaring di atas sana adalah Nathan!
Lututku lemas. Aku hampir tak mempercayai akan apa yang kualami malam ini. Tadi jelas-jelas Nathan muncul di luar jendela kamarku dan memberiku mawar merah. Tapi sekarang ia terbaring tanpa nyawa di ranjang ini. Apa maksud semua ini? Apakah mungkin yang menemuiku tadi dan memberiku bunga mawar merah adalah rohnya?
Aku memperhatikan mawar merah yang ada dalam genggamanku. Setelah kuperhatikan baik-baik, ternyata itu adalah mawar putih yang menjadi merah karena lumuran darah. Darah Nathan.
***
Aku tersentak. Rupanya aku tertidur di atas meja belajarku sambil menggenggam bunga mawar merah itu, mawar putih yang menjadi merah.
Terdengar suara ayam berkokok. Hari sudah pagi. Aku melihat jam dindingku menunjukkan pukul 6.30. Wah, aku telat! Aku harus bergegas ke kantor. Hari ini ada rapat dan aku harus mempresentasikan inovasi produk yang telah kurancang. Segera aku beranjak dari kursiku dengan tubuh yang masih pegal dan bersiap untuk mandi.
Ops… aku kelupaan sesuatu. Mawar merah itu ternyata masih kugenggam. Kuletakkan kembali bunga mawar merah itu di dalam vas, di tengah mawar putih lainnya.

 THE END

No comments:

Post a Comment